Usulan Indonesia untuk memperbarui UU Penyiaran menimbulkan kekhawatiran

Rencana revisi undang-undang penyiaran Indonesia yang mencakup pembatasan jurnalisme investigasi menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis dan analis kebebasan berekspresi.

RUU tersebut berupaya merevisi undang-undang penyiaran Indonesia tahun 2002. Di antara amandemen tersebut adalah pembatasan pada “penyiaran eksklusif investigasi jurnalistik,” penyiaran konten yang menggambarkan “perilaku” LGBTQ, dan konten tentang profesi atau tokoh yang menunjukkan “perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat.”

Hukuman atas pelanggaran hukum dapat mencakup peringatan tertulis atau pencabutan izin, menurut Federasi Jurnalis Internasional.

Para anggota parlemen mengatakan revisi tersebut diperlukan untuk memperbarui undang-undang yang pertama kali disahkan lebih dari 20 tahun lalu. Para kritikus mengatakan usulan tersebut akan membatasi media dan kebebasan berekspresi.

“Kami melihat bahwa rancangan undang-undang saat ini sangat jauh dari kepentingan nasional dan justru membatasi banyak hak atas kreativitas, kebebasan pers, dan ekspresi warga negara,” kata Yovantra Arief dari kelompok pemantau media Remotivi yang berkantor pusat di Jakarta.

Arief yang menjabat Direktur Eksekutif Remotivi mengatakan, dengan berkembangnya platform digital, revisi UU tersebut seharusnya menangkap semangat pertumbuhan, bukan malah kemunduran.

Wartawan memprotes rancangan revisi terbaru undang-undang penyiaran, yang mereka anggap mengancam kebebasan pers, di Banda Aceh, Indonesia, pada 27 Mei 2024.

Wartawan memprotes rancangan revisi terbaru undang-undang penyiaran, yang mereka anggap mengancam kebebasan pers, di Banda Aceh, Indonesia, pada 27 Mei 2024.

Survei tahun 2021 oleh kelompok analisis data, Katadata Insight Center, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia — 73 persen — mengakses informasi melalui media sosial, disusul televisi sebesar 59,7 persen, dan internet sebesar 26,7 persen.

Ade Wahyudin, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, mempertanyakan alasan pembatasan yang diusulkan terhadap jurnalisme investigasi, dan mencatat bahwa Undang-Undang Pers sudah menjamin perlindungan terhadap karya jurnalis, termasuk hak untuk melakukan investigasi berita.

“Pasal yang tidak jelas ini berpotensi merusak kerja jurnalistik, tidak terbatas pada investigasi karena penafsirannya masih belum jelas,” katanya kepada VOA. Jika disahkan, RUU tersebut akan membawa media Indonesia ke zaman kegelapan, tambahnya.

Pembahasan perubahan UU Penyiaran telah berlangsung sejak 2020.

Menurut Reuters, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia mengatakan pemerintah belum menerima rancangan RUU tersebut.

Rizki Natakusumah, anggota DPR, mengakui adanya kekhawatiran terhadap rancangan undang-undang tersebut.

“Hakikat UU Penyiaran ini kan membahas mana yang pantas, mana yang layak (untuk disiarkan), atau etika dalam penyiaran itu sendiri,” kata Rizki seraya menambahkan pemerintah tidak ingin mengatur kemerdekaan pers.

Rizki mengatakan, pembuat undang-undang menerima masukan dari lembaga penegak hukum yang ingin membatasi cara media memberitakan beberapa kasus.

Namun, wartawan investigasi mengatakan pengecualian semacam itu akan membatasi kemampuan mereka untuk bertindak sebagai pengawas warga negara dan kepentingan publik.

“Masalahnya, dalam beberapa kasus, dari pengalaman pribadi saya, aparat penegak hukum tidak bekerja dengan baik,” kata Aqwam Fiazmi Hanifan, produser investigasi media Narasi di Jakarta..

“Banyak laporan berita investigasi di Indonesia yang akhirnya berhasil mengungkap kasus yang awalnya gagal diselesaikan oleh lembaga penegak hukum,” tambahnya.

Ia mencontohkan bagaimana Ferdy Sambo, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Nasional, dihukum karena perannya dalam merencanakan pembunuhan pengawalnya sendiri pada tahun 2023.

Menurut Aqwam, jika media tidak giat mengungkap kebenaran kasus tersebut, maka keadilan mungkin tidak akan terwujud bagi keluarga korban.

Larangan yang diusulkan terhadap konten LGBTQ juga dikritik oleh para pendukung media.

Homoseksualitas masih dianggap sebagai topik tabu di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, dan ilegal di provinsi Aceh, yang tunduk pada hukum syariah, atau hukum Islam.

Namun Yovantra dari Remotivi mengatakan khalayak perlu dapat mengakses informasi tentang isu tersebut.

Yovantra mengatakan kepada VOA bahwa semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut dan pengesahannya tidak boleh terburu-buru. “Tidak apa-apa untuk dibahas lagi pada periode berikutnya karena undang-undang ini akan memengaruhi kehidupan banyak orang,” katanya.

Artikel ini berasal dari layanan VOA Indonesia. Fathiyah Wardah berkontribusi pada laporan ini; sebagian informasi berasal dari Reuters.

Sumber